konflik,strategi motivasi/ dinamika organisasi
Konflik dalam organisasi. Sama halnya dengan politik dalam organisasi, konflik dipandang sebagai konsep yang negatif dalam kajian organisasi dan manajemen. Kendati kerap disembunyikan, politik dan konflik sesungguhnya inheren di setiap organisasi, terlebih organisasi yang berskala besar. Kendati banyak memiliki dimensi genealogi yang mirip, politik dan konflik sesungguhnya dua konsep yang sebaiknya dibicarakan secara terpisah.
Politik lebih dipandang sebagai mekanisme penggunaan pengaruh dan kekuasaan dalam konteks organisasi. Konflik lebih dipandang sebagai fenomena yang bangkit akibat langkanya sumber daya dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan tinggi, terbitlah konflik. Organisasi sifatnya terbatas dalam sumber daya dan sebab itu, konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam manajemen keseharian organisasi.
Konflik, sebagai konsep, telah banyak dikaji sehubungan dengan organisasi. Konflik juga memiliki akar, sesuatu yang mengakibatkan konflik bangkit. Konflik juga memiliki jenis-jenisnya sendiri. Konflik memiliki aneka fungsi, baik yang bersifat negatif ataupun positif terhadap organisasi. Di atas semua, konflik harus diakui sebagai ada dan sebaiknya digunakan demi mengembangkan organisasi bukan sebaliknya.
Politik lebih dipandang sebagai mekanisme penggunaan pengaruh dan kekuasaan dalam konteks organisasi. Konflik lebih dipandang sebagai fenomena yang bangkit akibat langkanya sumber daya dalam organisasi. Di satu sisi terdapat kelangkaan, di sisi lain tuntutan untuk memiliki atau menggunakan tinggi, terbitlah konflik. Organisasi sifatnya terbatas dalam sumber daya dan sebab itu, konflik adalah sesuatu yang inheren (melekat) dalam manajemen keseharian organisasi.
Konflik, sebagai konsep, telah banyak dikaji sehubungan dengan organisasi. Konflik juga memiliki akar, sesuatu yang mengakibatkan konflik bangkit. Konflik juga memiliki jenis-jenisnya sendiri. Konflik memiliki aneka fungsi, baik yang bersifat negatif ataupun positif terhadap organisasi. Di atas semua, konflik harus diakui sebagai ada dan sebaiknya digunakan demi mengembangkan organisasi bukan sebaliknya.
Pengertian Konflik Keorganisasian
Gareth R. Jones mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “perbenturan yang muncul kala perilaku untuk mencapai tujuan tertentu suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.” Karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stake holder) di dalam organisasi berbeda maka konflik adalah suatu yang tidak terelakkan di setiap organisasi. Kendati konflik kerap dipandang negatif, sama halnya dengan politik, tetapi Jones beranggapan bahwa beberapa jenis konflik mampu memberi kontribusi pada peningkatan efektivitas organisasi. Alasan Jones bahwa konflik punya kontribusi baik adalah, ia mengungkap kelemahan organisasi dan dalam upaya mengatasinya, konflik membawa pada pembelajaran dan perubahan organisasi.
M. Aflazur Rahim mendefinisikan konflik korganisasian sebagai “proses yang termanifestasi secara interaktif dalam hal ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik di dalam maupun antar entitas sosial seperti individu, kelompok, ataupun organisasi. Rahim menyebut konflik sebagai kondisi “interaktif” bukannya hendak membatasi kemungkinan konflik di dalam diri individu, di ama seseorang kerap pula mengalami konflik dengan dirinya sendiri.
Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “... interaksi entitas-entitas yang saling bergantung yang menganggap perseberangan sasaran, niat, nilai dan yang menganggap entitas atau entitas-entitas lainnya sebagai penganggu yang potensial atas upaya realisasi dari sasaran ini. Dirks and Parks menekankan pada 3 konsep konflik yaitu interaksi, kesalingtergantungan, dan sasaran yang tidak cocok. Mereka juga menggariskan “entitas” bukan “orang”, karena konflik kerap melibatkan tidak hanya “orang” tetapi juga kelompok, tim, divisi, departemen, dan organisasi-organisasi bisnis.
Ricky W. Griffin andn Gregory Moorhead mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “ ... proses yang dihasilkan dari anggota 2 pihak bahwa mereka bekerja secara berseberangan antara satu sama lain dengan cara yang berakibat pada perasaan tidak nyaman dan atau permusuhan.” Keduanya menekankan bahwa konflik adalah “proses” bukan peristiwa yang berdiri sendiri, dan sebagai proses, konflik terus berlangsung dari waktu ke waktu. Mereka juga menekankan bahwa pihak-pihak yang terlibat harus menganggap proses perseberangan sebagai “ada”. Terakhir, ketidaknyamanan dan permusuhan juga harus muncul agar konflik dinyatakan ada, tetapi beda dengan pertandingan sepakbola antara 2 tim, di mana ini bukan konflik tetapi bersaing untuk menang.
Brooks mendefinisikan konflik keorganisasian sebagai “ ... menjadi jelas kala sekurangnya satu pihak menganggap bahwa konflik ada dan di mana kepentingan atau perhatian pihak tersebut terlemahkan atau terfrustasikan.” Konflik hadir antar individu, kelompok, atau departemen. Konflik biasa terjadi antar individu di departemen atau kelompok yang sama, antar pekerja di aneka tingkatan struktur organisasi, juga antara mereka yang punya tugas wewenang berbeda atapun kolega-kolega kerja mereka sendiri.
Kiranya, definisi konflik keorganisasian yang telah dipaparkan memiliki penekanan yang mirip. Pertama, adanya tujuan yang berseberangan atau terhalangi. Kedua, adanya pihak-pihak yang menganggap bahwa konflik ada, bisa individu, kelompok, tim, ataupun bagian-bagian di dalam organisasi terhadap sesamanya. Ketiga, konflik melibatkan rasa tidak nyaman dan permusuhan. Keempat, konflik dapat disikapi baik secara negatif maupun positif bagi perkembangan organisasi. Kelima, konflik adalah tidak terelakkan selama organisasi terus beroperasi dan terdiri atas entitas-entitas yang punya kepentingan dan tujuan masing-masing.
Model Konflik Keorganisasian
Model berguna untuk menyederhanakan yang rumit. Model didasarkan atas seperangkat konsep yang saling berjalin, atau dianggap saling berjalin, seputar suatu fenomena. Sebab itu, tidak cukup hanya satu model untuk menjelaskan peristiwa. Termasuk dalam masalah konflik.
Untuk menjelaskan masalah konflik, digunakanlah teori. Teori untuk menjelaskan konflik tidak hanya satu melainkan banyak. Teori-teori yang memiliki kesamaan lalu dikelompokkan ke dalam sebuah model. Model, sebab itu, merupakan pengelompokan sejumlah teori untuk menjelaskan suatu peristiwa, dalam hal ini : Konflik.
Louis A. Pondy menawarkan 3 buah model untuk menjelaskan konflik. Model-model tersebut adalah : (1) Model Bargaining; (2) Model Birokratik; dan (3) Model Sistem. Ketiga model ini punya dimensi penjelasan dan teori-teori yang berbeda dalam menjelaskan konflik.
Model Bargaining – Model ini didesain untuk menjelaskan konflik akibat persaingan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan sumber daya yang langka. Model ini secara khusus menganalisis hubungan pekerja-manajemen, proses penganggaran, dan konflik staf-pekerja.
Ukuran yang paling masuk akal bagi konflik-konflik potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber daya yang tersedia. Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan kelompok atau peningkatan sumber daya yang tersedia. Selain itu, anggaran juga merupakan konflik yang dijelaskan lewat model ini. Proses penganggaran modal adalah proses konflik yang dipicu persaingan antar departemen dalam memperebutkan dana.
Model Birokratik – Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik atasan-bawahan atau, secara umum, konflik di sepanjang dimensi vertikal dalam hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara seputar masalah yang muncul akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan reaksi organisasi terhadap kendali tersebut.
Konflik vertikal biasanya muncul akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan, dan bawahan melawan kendali tersebut. Hubungan otoritas didefinisikan lewat seperangkat kegiatan bawahan terhadap mana bawahan harus mengalah pada legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik muncul tatkala atasan dan bawahan punya pengharapan berbeda seputar wilayah unik masing-masing. Bawahan lebih suka menganggap konflik tatkala upaya atasan menerapkan kendali atas kegiatan adalah di luar kewenangannya, sementara atasan menganggap konflik tatkala upayanya untuk mengendalikan dilawan.
Atasan lebih suka memandang perlawanan bawahan sebagai ketidaksukaan mereka atas penerapan kekuasaan personal. Reaksi birokratis atas perlawanan bawahan adalah substitusi aturan impersonal dengan kendali personal. Bawahan juga memandang upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas otonomi mereka. Ini terutama terjadi di dalam organisasi skala besar yang banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan antara atasan dan bawahan menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan, atau cocoknya kebutuhan atasan-bawahan menjadi kurang mungkin.
Model Sistem – Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik antar pihak yang punya fungsi berbeda. Analisis atas masalah koordinasi khusus dibicarakan oleh model ini. Konflik ini juga terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.
Jika model bargaining bicara tentang masalah persaiangan, model birokratik bicara soal msalah kendali, maka model sistemn bicara tentang masalah koordinasi. Misal, dua individu tiap-tiapnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan memainkan peran formal dengan penghargaan atas lainnya. Jika turun suatu pekerjaan, maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya. Kala satu organ mengerjakan, orang lainnya menganggap sebagai pelanggaran “lapak” kerja.
Proses Konflik Keorganisasian
Louis A. Pondy mengidentifikasi empat jenis konflik, yaitu : (1) Latent Conflict; (2) Perceived Conflict; (3) Felt Conflict; (4) Manifest Conflik. Konflik-konflik tersebut beranjak dari awal (1) hingga yang terakhir (4).
Latent Conflict – Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga sumber yaitu : (1) persaingan memperebutkan sumberdaya yang langka; (2) kehendak untuk otonom atau berdiri sendiri, dan (3) perbedaan antara sasaran-sasaran yang dikendaki masing-masing unit dalam organisasi.
Persaingan membentuk dasar dari konflik kala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya melebihi sumberdaya yang tersedia di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom menjadi konflik salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas sejumlah kegiatan yang oleh pihak lain diakui sebagai miliknya. Perbedaan sasaran menjadi sumber konflik kala 2 pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan tetapi tidak bisa meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil.
Dari Latent Conflict muncullah Model Konflik Peran. Model ini memperlakukan organisasi selaku koleksi dari seperangkat peran, yang masing-masing peran dipegang oleh seseorang dan orang yang memberikan peran tersebut. Konflik muncul kala pemegang peran menerima tuntutan peran yang bertentangan dengan peran yang tadinya ia perankan. Model ini menganggap pemegang peran selaku penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan. Model Konflik Peran menentukan hubungan konseptual, perangkat peran, yang berguna dalam menganalisis 3 bentuk Latent Conflict.
Perceived Conflict – Konflik kerap terjadi kendati tidak satupun kondisi Latent Conflict terjadi. Kondisi Latent Conflict bisa terjadi tanpa satupun peserta konflik merasakan bahwa konflik telah terjadi. Dalam kasus konflik dirasakan kala tidak satupun Latent Conflict ada, dijelaskan lewat Model Semantik Konflik. Menurut model ini, konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan pihak lain seputar posisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model Semantik Konflik ini menjadi dasar bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai dengan tujuan meningkatkan hubungan interpersonal.
Namun, sejumlah Latent Conflict yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang membatasi persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik-konflik tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi.
Mekanisme Supresi bisa diterapkan pada konflik-konflik yang berhubungan dengan pribadi/personal tinimbang nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian, sebaliknya, berhubungan dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi.
Felt Conflict – Ada beda penting antara konflik yang dianggap ada (Perceived Conflict) dengan konflik yang terasakan ada (Felt Conflict). Si A mungkin sadar bahwa B dan A berada dalam kondisi saling tidak setuju yang serius atas satu kebijakan yang sama, tetapi itu tidak membuat Si A tegang atau gelisah, dan kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap Si B. Ini merupakan Perceived Conflict.
Personalisasi konflik adalah mekanisme yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat disfungsi konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik. Pertama, penjelasan bahwa tuntutan atas efisiensi organisasi dan perkembangan individu tidak konsisten dan menciptakan kegelisahan di dalam diri individiu. Kegelisahan dihasilkan dari krisis identitas atau secara eksternal dari organisasi. Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara kesimbangan internalnya sendiri. Konflik keorganisasian dari 3 jenis Latent Conflict menyediakan alasan pembenar guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu arahkan pada sasaran yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model).
Kedua, pejelasan bahwa konflik menjadi pribadi kala seluruh kepribadian individu terlibat di dalam hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-hubungan yang intim (akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja, perguruan tinggi, dan keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi, lembaga secara keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman seperti kegiatan atletik dan sanksi-sanksi. Felt Conflict muncul dari seluruh atau satu dari ketiga Latent Conflict, tetapi Latent Conflict menyediakan sasaran yang cocok bagi ketegangan-ketegangan yang tidak terarah.
Manifest Conflict – Konflik ini dimaksudkan bagi sejumlah perilaku konflik, nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka, tetapi kekerasan fisik dan verbal biasanya diharamkan oleh norma organisasi. Kecuali kerusuhan penjara, revolusi politik, dan kisruh buruh yang ekstrim, kekerasan sebagai bentuk Manifest Conflict dalam organisasi adalah jarang.
Motivasi untuk berbuat kekerasan tetap ada, tetapi cenderung diekspresikan dalam bentuk yang lebih halus. Suatu kajian mendokumentasikan upaya terselubung untuk mensabotase atau memblok rencara pihak lawan lewat koalisi-koalisi yang agresif dan defensif. Para montir menunjukkan taktik-taktik konflik yang digunakan oleh partisipan organisasi level rendahan, seperti apatisme guna melawan para atasan mereka.
Keempat jenis konflik Pondy sekaligus merupakan rangkaian sebab, eskalasi, dan ujung dari episode suatu konflik. Agar lebih jelas, kami muat saja skema konseptual episode konflik Pondy ini :
Model teoritis Pondy kemudian banyak digunakan penulis-penulis konflik keorganisasian karena komprehensivitas dan ketelitiannya, dengan memandang konflik secara holistik, tidak spasial.
Penulis lain, misalnya Robert Edelmann, Henry L. Tosi and Neal P. Mero mengidentifikasi sejumlah faktor pemicu konflik. Faktor-faktor mereka kelompokkan ke dalam 3 kategori utama yaitu : (1) Perbedaan Karakter Individu; (2) Kondisi Situasional; dan (3) Kondisi Keorganisasian.
Perbedaan Karakter Individu – Perbedaan membuat orang yang satu lebih suka terlibat konflik tinimbang lainnya. Perbedaan nilai, keyakinan, dan sikap individu bisa jadi sumber konflik. Pekerja yang menilai tinggi otonomi dan kebebasan akan bereaksi negatif jika diawasi ketat dan dari dekat. Nilai juga menciptakan ketegangan antara individu dan kelompok di organisasi. Misal, pemimpin serikat buruh kiranya punya nilai berbeda dengan para manajer. Dalam satu riset, pemimpin serikat buruh menilai kesejahteraan dan kesetaraan pekerja leibh tinggi, tetapi rendah dalam memandang keuntungan perusahaan. Manajer justru punya penilaian sebaliknya.
Perbedaan karakter lain yang memicu konflik adalah kebutuhan dan kepribadian. Misal, sejumlah pabrik memproduksi barang bagi divisi lain dari perusahaan. Manajer pabrik bekerjasama untuk beberapa waktu tanpa kesulitan. Tatkalan manajer bersangkutan pensiun, penggantinya (berasal dari luar perusahaan) punya watak psikologis berbeda. Mereka ini lebih concern pada prestasi individu tinimbang kerjasama. Ketidaksetujuan antara manajer lama dan baru lalu muncul, dan kinerja sejumlah pabrik menurun.
Jika kita menganggap orang lain sebagai ancama, kita akan bertindak atas mereka dalam cara yang berpotensi konflik. Anggapan atas perbedaan dalam kekuasaan dan status juga kerap memicu konflik di dalam organisasi, sebagaimana seseorang merasa terancam oleh kekuasaan orang lain. Tipe konflik ini lebih kuat potensi kemunculannya tatkala situasi samar (tidak tentu) akibat kontribusi ambigu pada mispersepsi dan penilaian yang tidak tepat.
Kondisi Situasional – Kondisi yang ditemui pada situasi berbeda juga turut menyebabkan konflik. Perilaku konflik seseorang juga diakibatkan oleh sebab-sebab lingkungan. Konflik akan muncul tatkala orang dekat secara fisik, dan tatkala mereka butuh interaksi. Lewat interaksi yang tinggi, muncul kerumitan hubungan dan konflik pun potensial muncul. Interaksi adalah barang hidup di tiap organisasi, tetapi tidaklah interaksi itu harus memunculkan konflik.
Konflik juga merupakan fungsi tatkala persetujuan aneka pihak dibutuhkan. Misal, banyak pembelian organisasi bersifat rutin dan tidak butuh persetujuan aneka departemen, tetapi konsensus (kesepakatan) harus dibuat tatkala pembelian suatu item seperti komputer atau perlengkapan kantor yang digunakan oleh orang banyak. Konflik atas kualitas, biaya, atau lokasi dapat muncul tatkala tekanan untuk membuat konsensus terjadi.
Kondisi Keorganisasian – Tatkala sejumlah besar orang hadir bersama di suatu organisasi, banyak hal bisa memicu konflik. Konflik berakar pada peran dan tanggung jawab, kebergantungan, sasaran, kebijakan, dan sistem reward.
Penulis lain, misalnya David Cowan, secara lebih praktis mengidentifikasi 9 faktor pemicu konflik. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) Kebutuhan Emosional Dasar, (2) Nilai dan Keyakinan Pribadi, (3) Ide, Opini, dan Isu, (4) Fakta dan Informasi, (5) Proses dan Metode, (6) Kesamaan dan Perbedaan, (7) Teritori, (8) Keterbatasan Sumber Daya, dan (9) Perubahan.
Kebutuhan Emosional Dasar – Kebutuhan ini melibatkan aspek perasaan seseorang di dalam organisasi. Sifatnya sangat subyektif dan internal di dalam diri anggota organisasi. Kebutuhan ini terdiri atas 3 jenis, yaitu : (1) Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai; (2) Kebutuhan untuk mengendalikan; dan (3) Kebutuhan mencintai diri sendiri dan harga diri.
Kebutuhan untuk dihargai dan dicintai meliputi bagaimana kita berimajinasi seputara bagaimana pandangan orang lain terhadap kita. Jika kita yakin bahwa nilai kita dilemahkan di mata orang lain, segera kita menjadi tidak nyaman. Terjadi konflik internal berhubungan dengan bagaimana memulihkan nilai kita di mata orang lain. Misalnya, tatkala seorang pekerja dimarahi atasan di mata kolega, ia merasa turun harga dirinya, merasa tidak nyaman, dan bagaimana ia kembali memulihkan harga diri di mata orang. Ini menimbulkan konflik.
Kebutuhan untuk mengendalikan bermakna kebutuhan untuk mengendalikan dan menentukan nasib kita sendiri, termasuk perasaan bahwa kita punya pilihan dan bebas serta mampu membuat pilihan. Misal, kala suatu departemen diputuskan untuk bergabung dengan unit lain dalam suatu pekerjaan oleh manajemen puncak, pekerja di departemen tersebut akan merasa tercabut kendalinya atas produksi. Ini memicu konflik.
Kebutuhan untuk mencintai diri dan punya harga diri berhubungan dengan tingkat penghargaan diri seseorang. Segala sesuatu yang berakibat kita merasa tidak cukup atau tidak mampu dalam mencapai harapan, mengancam perasaan penting ini. Menariknya, pemilikan kemampuan untuk memanajemen konflik dan konfrontasi dalam hidup punya sumbangan besar atas kemampuan kita untuk mencintai dan berpikir baik seputar diri kita.
Nilai dan Keyakinan Personal – Saat kita berkembang, tiap kita mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan yang membentuk segala perilaku kita. Bilamana kita menganggap suatu peristiwa atau kondisi tidak selaras dengan salah satu nilai atau keyakinan kita, dita terdorong keluar dari “zona nyaman” kita dan mengalami konflik. Misal, seorang manajer yang suka mencandai perilaku para atas lalu mengalami teguran dari manajemen senior untuk menghentikan kebiasaan tersebut, si manajer akan mengalami konflik antara nilai dan keyakinan dirinya dengan otoritas.
Ide, Opini, dan Isu – Kita semua punya ide, ide lalu membentuk opini. Kadang secara optimis kita mengekspresikan opini dengan berkata “Saya pikir ...” atau “Kalau menurut saya .... “. Opini kita terbentuk lewat bahan mentah dari sistem keyakinan kita. Namun, terbentuknya opini dipengaruhi isu-isu yang tengah berkembang. Isu beredar dan ditanggapi minimal lewat 2 opini berbeda. Isu bisa sederhana juga bisa rumit. Misal, kala 2 yang menonton TV punya pendapat beda soal channel mana yang harus disetel, kita punya 1 isu dan 2 opini. Namun, kala debat politisi seputar reformasi kesehatan, kita punya 1 isu utama, ribuan sub-isu, dan puluhan ribu opini.
Opini dan isu adalah lokus terbaik menemukan konflik. Kita pasti mengingat kapan opini kita ditanggapi berbeda oleh orang lain, bahkan diserang. Adanya opini berseberangan tersebut menghasilkan konflik. Keseriusannya ditandai kuatnya faktor emosi yang mendukung opini tersebut.
Fakta dan Informasi – Sejak kita melihat dan menafsirkan sesuatu yang unik, persepsi kita seputar “fakta” mungkin beda dengan persepsi orang lain. Kerap, apa yang dikatakan fakta adalah opini. Kerap juga, fakta tidak lengkap dan informasi tidak tersedia.
Proses dan Metode – Jarang hanya ada 1 cara melakukan sesuatu. Sejak proses dan metode mempengaruhi hasil, orang cenderung mempertahankannya. Bahkan, isu remeh seperti memilih jalur tatkala berkendaraan yang kita anggap paling cepat, dan kita anggap terbukti, akan terus kita pertahankan kendati macet. Sebab itu, perubahan proses dan metode di dalam organisasi akan menimbulkan konflik bagi para pendukungnya.
Kesamaan dan Perbedaan – Keragaman akan melahirkan konflik. Orang berbeda nilai kebajikan dan sistem keyakinan, sifat manusia, dan respon atas kondisi. Dengan kata lain, bergantung pada “siapa mereka.”
Turf – Kita belajar seputar penguasaan wilayah dari pengalaman terdahulu dalam organisasi. Secara kolektif, ukuran dan teritori menghasilkan “turf”. Sejumlah budaya menempatkan tinggi ukuran kesuksesan, dari sisi material atau imaterial. Kala anjing tetangga menemukan tempat bermain nyama di halaman kita, kita merasakan gangguan atas “turf” berupa teritori. Kejadian pemboman WTC tahun 2001 merupakan gangguan atas teritori bangsa Amerika Serikat.
Keterbatasan Sumber Daya – Organisasi tidak pernah bisa mencukupi segala sesuatu bagi setiap anggota. Sumber daya terbatas, sebab itu harus dialokasi, dan proses penentuan siapa dapat apa memunculkan konflik. Sebagaimana kita bersaing untuk beroleh sumberdaya, kita secara otomatis terpancing dalam kondisi menang-kalah.
Perubahan – Perubahan bersifat tetap. Setiap organisasi terus-menerus berubah, dan setiap individu punya persoalan dengan perubahan baik di level pribadi ataupun profesional. Introduksi perubahan jika disesuaikan oleh individu tidak mengapa, tetapi tatkala dilawan maka timbulah konflik hingga orang tersebut menyerah pada keadaan yang berubah.
Efek Konflik Keorganisasian
Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu yang menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas. Identifikasi atas efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita lebih mampu memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.
Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam 2 kategori yaitu efek negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut :
Efek Negatif. Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam bentuk tertekannya pekerja. Berikut adalah rincian efek negatif konflik keorganisasian:
- Reaksi umum atas konflik misalnya ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
- Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan mual merupakan peringatan awal yang jika tidak disikapi serius berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
- Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (kelepas-kelepus), yang semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
- Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak pada peningkatan konflik.
Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik sesungguhnya lebih punya efek positif tinimbang negatif. Rincian efek positif konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini :
- Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dan berdiskusi guna menyelesaikannya.
- Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik, mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang dengan mengetahui bahwa perbedaan bisa diselesaikan.
- Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
- Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan produktivitas.
- Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka meraih kepuasan kerja.
Penulis lain seperti M. Afzalur Rahim membagi efek konflik organisasi menjadi 2 yaitu : (1) Disfungsi dan (2) Fungsi. Rincian dari pendapat Rahim seputar Disfungsi Konflik adalah :
- Konflik mengakibatkan stress kerja, perasaan terbakar, dan ketidakpuasan.
- Komunikasi antar inidividu dan kelompok menjadi berkurang.
- Iklim ketidakpercayaan dan kecurigaan berkembang.
- Hubungan antar orang tercederai.
- Kinerja pekerjaan berkurang.
- Perlawanan atas perubahan meningkat.
- Komitmen dan kesetiaan organisasi akan terpengaruh.
Selain itu, Rahim menyebut adalah pula Fungsi Konflik, yaitu :
- Konflik merangsang inovasi, kreativitas, dan perubahan.
- Proses pembuatan keputusan dalam organisasi akan terimprovisasi.
- Solusi alternatif atas satu masalah akan ditemukan.
- Konflik membawa solusi sinergis bagi masalah bersama.
- Kinerja individu dan kelompok akan lebih kuat.
- Individu dan kelompok dipaksa untuk mencari pendekatan baru atas masalah.
- Individu dan kelompok perlu lebih mengartikulasi dan menjelaskan posisi mereka.
Manajemen Konflik
Jika konflik terjadi, apa yang kemudian dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini berujung pada pola manajemen konflik. Bagaimana sikap pihak yang berkonflik atas konflik yang terjadi? Taksonomi 2 dimensi yang dikembangkan Thomas Ruble and Kenneth Thomas tahun 1976 relatif paling mudah dipahami. Ruble dan Thomas mengidentifikasi 5 jenis penanganan konflik yaitu : (1) Forcing; (2) Collaborating; (3) Compromising; (4) Avoiding; dan (5) Accomodating. Modelnya ada sebagai berikut :
Taksonomi penanganan konflik Ruble and Thomas terdiri atas garis X dan garis Y. Garis X mewakili variabel Kerjasama (Cooperating) yaitu upaya memuaskan kepentingan orang lain. Garis Y adalah variabel Ketegasan (Assertiveness) yaitu upaya memuaskan kepentingan diri sendiri. Limit terendah Ketegasan adalah Tidak Tegas, sementara limit tertingginya Tegas. Di sisi lain, limit terendah Kerjasama adalah Tidak Kerjasama, dan limit tertingginya Kerjasama.
Avoiding – Satu pihak menolak bahwa konflik itu ada, mengubah topik, dan menghindari diskusi-diskusi, seraya tidak memperlihatkan komitmen penyelesaian. Gaya ini efektif dalam situasi dimana terdapat bahaya penyerangan fisik, isu tidak penting, tidak atas kesempatan mencapai tujuan, atau kerumitan situasi yang membutuhkan solusi.
Avoiding (penghindaran) konflik punya keuntungan dalam hal pemeliharaan hubungan, dalam mana hubungan akan terluka lewat penyelesaian konflik. Kerugiannya gaya ini adalah konflik tidak akan selesai. Penggunaan berlebih gaya ini mendorong munculnya konflik internal dalam diri individu yang melakukannya. Orang cenderung meremehkan si penghindar. Manajer mengizinkan pekerja melanggar aturan tanpa mengkonfrontasinya. Penghindaran masalah biasanya bukan menyelesaikan masalah melainkan malah menambahnya. Semakin lama kita menunggu konfrontasi dengan orang lain, semakin sulit konfrontasi yang terjadi nantinya.
Accomodation – Satu pihak mengorbankan kepentingannya dan memperlihatkan concern dengan membiarkan pihak lain mencapai kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi dimana tidak terdapat kesempatan yang banyak bagi seseroang dalam mencapai kepentingannya, kala hasilnya tidak penting, atau kala ada keyakinan bahwa memuaskan kepentingan dirinya akan mencederai hubungan.
Keuntungan gaya akomodasi adalah, hubungan terpelihara dengan melakukan sesuatu hal dengan cara orang lain. Kerugiannya adalah “penyerahan” pada orang lain malah kontraproduktif. Orang yang melakukan pengakomodasian mungkin punya solusi yang lebih baik. Penggunaan berlebih gaya ini cenderung memberi kesempatan orang lain mengambil keuntungan dari si akomodator.
Compromising – Lewat konsesi seluruh pihak, tiap pihak siap hanya mencapat setengah kepentingannya. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian cepat seputar masalah, kala pihak lain menolak berkolaborasi (kerjasama), kala pencapaian sasaran secara mutlak tidak penting, atau kala tidak ada yang perlu dikhawatirkan apakah kepentingan tercapai seluruhnya atau sebagiannya saja.
Keuntungan gaya ini adalah, konflik diselesaikan secara relatif cepat dan hubungan kerja tetap terpelihara. Kerugiannya adalah, si kompromis kerap menghasilkan hasil yang kontraproduktif, seperti keputusan yang tidak optimal. Penggunaan berlebih gaya ini membuat orang kerap bertanya dua kali dalam rangka memenuhi kepentingannya. Gaya ini biasa digunakan dalam hubungan manajemen-buruh.
Forcing – Gaya ini dicirikan agresivitas, fokus diri sendiri, pemaksaan, ketegasan lisan, dan perilaku tidak kerjasama guna mencapai tujuan yang ditampakan oleh satu pihak dengan mengalahkan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif dalam situasi dimana keputusan harus dibuat secara cepat, pilihan terbatas, tidak khawatir mengorbankan, pihak lain menolak kerjasama, dan tidak ada perhatian memadai atas kerusakan potensial dalam hubungan.
Keuntungan gaya Forcing adalah keputusan organisasi yang lebih baik akan terjadi, kala si pemaksa benar, ketimbang keputusan yang kompromistik yang kurang efektif. Kerugiannya dari penggunaan gaya forcing yang berlebihan mendorong permusuhan dan perlawanan terhadap si pengguna. Pemaksa cenderung punya hubungan buruk dengan pihak lain.
Collaborating – Gaya ini dicirikan lewat pendengar aktif dan fokus pada isu, komunikasi empatik yang mencari pemuasan kepentingan dan perhatian setiap pihak. Gaya ini efektif dalam situasi dimana kekuasaan secara relatif berimbang, hubungan jangka panjang dihargai, tiap pihak menampakkan perilaku kooperatif, dan terdapat cukup waktu dan energi guna membuat solusi integratif yang memuaskan semua pihak.
Keuntungan gaya ini adalah kecenderungannya membawa pada solusi terbaik dari konflik, menggunakan perilaku yang tegas. Kerugiannya adalah, keahlian, upaya, dan waktu dibutuhkan guna menyelesaikan konflik adalah lebih besar dan lebih lama tinimbang gaya lainnya.
Kapan situasi terbaik untuk menerapkan masing-masing gaya manajemen konflik? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kami muat bagan dari John Hayes sebagai berikut :
Kuesioner Gaya Penanganan Konflik
Jika ada di antara mahasiswa yang menyusun skripsi atau penelitian, alat ukur penanganan konflik sudah ada yang “ready made”. Bahkan, ia disusun oleh Thomas Ribl and Kenneth Thomas sendiri, dua orang yang membuat taksonomi di atas. Berikut kuesioner dan metode penafsirannya :
Kuesioner : Apakah Gaya Penanganan Konflik Saya ?
Instrumen :
Kala mengalami perbedaan dengan seseorang, bagaimana respon anda?
Gunakan skala peringkat berikut guna mencatat jawaban anda:
1 = Hampir Tidak Pernah
2 = Pernah Satu Kali
3 = Kadang-kadang
4 = Agak Sering
5 = Sangat Sering
Cara Penskoran:
Untuk menghitung skor penanganan konflik anda, jumlahkan total tiap-tiap kelima kategori. Item-item berdasarkan kategori didaftar di bawah ini :
Analisis dan Penafsiran :
- Forcing
Hasrat untuk memuaskan kehendak sendiri tanpa memandang dampaknya pada pihak lain yang berkonflik. Itemnya nomor 1, 6, 11 dan 16. - Collaborating
Dimana pihak yang berkonflik masing-masing berkeinginan untuk memuaskan kepentingan semua pihak yang bertikai. Itemnya nomor : 5, 10, 15 dan 20. - Avoiding
Hasrat untuk menghindar dan menekan konflik ke dalam diri sendiri. Itemnya nomor : 4, 9, 14, dan 19. - Accomodating
Kehendak satu pihak yang berkonflik untuk menempatkan kepentingan pihak lain di atas kepentingannya sendiri. Itemnya nomor: 2, 7, 12, dan 17. - Compromising
Dimana tiap pihak yang berkonflik hendak berkompromi, saya dapat setengah, dia dapat setengah. Itemnya nomor: 3, 8, 13, dan 18.
Skor anda untuk tiap kategori berkisar antara 4 hingga 20. Skor tertinggi tiap kategori menandari gaya penanganan konflik anda. Terbesar kedua adalah gaya sekunder anda. Idealnya, kita menyesuaikan penanganan konflik sesuai dengan situasi.
----------------------------------------------
Sumber Rujukan :
- David A. Whetten and Kim S. Cameron, Developing Management Skill, 7th Edition (Delhi: Dorling Kindersley (India) Pvt. Ltd., 2008)
- David Cowan, Taking Charge of Organizational Conflict: A Guide to Managing Anger and Confrontation (Fawnskin, California: Personhood Press, 2003)
- Gareth R. Jones, Organizational Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley, 2009)
- Henry L Tosi and Neal P. Mero, The Fundamentals of Organizational Behavior: What Managers Need to Know (Malden, Massachussetts: Blacwell Publishing, 2003)
- Ian Brooks, Organisational Behaviour: Individuals, Groups, and Organisations, 3rd Edition (Delhi: Dorling Kindersley, 2006)
- John Hayes, Interpersonal Skills at Work, 2nd Edition (New York: Routledge, 2002)
- Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of Conflict” dalam Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The State of the Science, 2nd Edition ( Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis e-Library, 2008)
- Louis R. Pondy, “Organizational Conflict: Concepts and Models” dalam Harold J. Leavitt, Louis R. Pondy, and David M. Boje, eds., Readings in Managerial Psychology, 4th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 1989)
- M. Afzalur Rahim, Managing Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey: Transaction Publishers, 2011)
- Myra Warren Isenhart and Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 2000)
- Ricky W. Griffin and Gregory Moorhead, Organizational Behavior: Managing People and Organizations, 9th Edition (Mason, Ohio: South-Western, 2010)
- Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership: Theory, Application & Skill Development (Mason: Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010)
- Stephen P. Robbins, Self Assessment Library 3.4.: Insight Into Your Skills, Interests, and Abilities (New Jersey: Pearson Education, Inc., 2009)
- V.G. Kondalkar, Organization Effectiveness and Change Management, (New Delhi: PHI Learning Private Limited, 2009)
Mungkin tanpa disadari dalam keseharian hidup kita sebenarnya berada dalam proses pembelajaran. Setiap kejadian yang menimpa kita dan orang lain merupakan pengalaman hidup. Idealnya, kalau yang memiliki daya kritis, setiap kejadian akan mendorong dirinya untuk bertanya. Antara lain dalam bentuk “apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa itu sampai terjadi? Apa akibat-akibat yang timbul pada diri sendiri dan lingkungan? Bagaimana mengatasi masalahnya?”, dst. Semua rangkaian pertanyaan dan informasi yang dihasilkan serta tindakan-tindakan yang berkait dengan itu merupakan ciri pembelajaran dari seseorang. Istilah filosofinya, “pengalaman adalah guru terbaik…….belajarlah dari pengalaman”. Namun belum tentu semua orang berperilaku seperti itu. Dengan kata lain tidak peduli pada apa yang telah dialaminya. Tidak ada dorongan untuk menelaahnya. Lalu apakah itu bisa juga terjadi pada suatu perusahaan?
Sebagai organisasi, perusahaan terdiri dari kumpulan orang yang bekerjasama secara teratur dan terencana di bawah koordinasi seorang pemimpin untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti juga individu manusia, perusahaan pun belum tentu semuanya sebagai organisasi pembelajaran (learning organization). Ada perusahaan yang aktifitasnya hanya sebatas rutin saja. Sementara perusahaan lain beraktifitas tidak sekedar berorientasi rutin tetapi juga pada pengembangan. Yakni seperti yang diungkap Peter Senge, bahwa organisasi pembelajaran merupakan “The Bottom Line: Any organization that has a culture and structure that promotes learning at all levels to enhance its capabilities to produce, adapt and shape its future”. Batasan itu bisa juga disetarakan sebagai prinsip dasar bagaimana suatu organisasi pembelajaran dapat dibentuk dan dikembangkan.
Dalam hal ini organisasi pembelajaran ditunjukan oleh adanya individu-individu yang memiliki ciri-ciri: upaya untuk memperkuat kepribadian yang obyektif, meneliti dengan cermat asumsi-asumsi dan gambaran dunia bisnis, menciptakan gambaran masa depan yang baru, menciptakan kapasitas untuk berpikir bersama dalam suatu tim, dan berpikir secara sistem sehingga terjadi interelasi antara pengetahuan dan alat pencapai tujuan. Dengan demikian dalam organisasi pembelajaran terjadi proses pemberian kesempatan kepada setiap karyawan untuk belajar secara bersinambung. Pembelajaran itu dimaksudkan untuk digunakan dalam mencapai tujuan individu dan organisasi. Karena itu ada keterkaitan antara tujuan atau kinerja individu dengan kinerja perusahaan. Semuanya diperkuat dengan adanya proses berbagi informasi dan tugas, dan kalau toh ada perbedaan-perbedaan justru dimanfaatkan untuk mengembangkan kreatifitas.
Bagaimana mewujudkan perusahaan sebagai organisasi pembelajaran? Langkah-langkah yang bisa diterapkan antara lain meliputi:
(1). Tidak mungkin organisasi pembelajaran akan terbentuk kalau tidak ada dukungan manajemen puncak. Karena itu manajemen puncak harus mengembangkan budaya organisasi di kalangan manajemen dan karyawannya. Dan ini tercermin dari sosialisasi dan internalisasi tentang visi, misi, tujuan, dan strategi-kebijakan perusahaan. Pembudayaan antara lain dalam aspek-aspek budaya belajar, budaya mutu kinerja, budaya komitmen, dan budaya akuntabilitas harus sudah dimulai sejak tahap proses rekrutmen karyawan baru.
(2). Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi menjadi hal yang sangat pokok dalam pembentukan dan pengembangan organisasi pembelajaran. Pelatihan lebih ditekankan pada penguatan domain pengetahuan, sikap dan ketrampilan karyawan. Sementara pengembangan lebih difokuskan pada partisipasi dan otonomi dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Dengan kapabilitasnya, karyawan diharapkan selalu siap berinovasi dan beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi.
(3). Pengembangan umpan balik di semua lini. Proses ini terjadi pada tataran horisontal sesama rekan kerja. Dan vertikal antara atasan dan subordinasi dan sebaliknya. Umpan balik ini merupakan salah satu sisi pembelajaran kontinyu yang utamanya ditujukan untuk memperkuat daya kritis dan kreatifitas karyawan dalam memberikan masukan yang berharga bagi pengembangan organisasi. Disinilah para karyawan diajak berperanserta secara aktif dalam mengevaluasi dan merumuskan program dan indikator kinerja perusahaan berikut aspek-aspeknya.
(4). Penyediaan dan pengembangan sistem informasi dan manajemen mulai dari subsistem pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan pelaporan, penyimpanan, serta penyebarluasan laporan ke seluruh unit organisasi. Sistem ini sangat berguna untuk mengembangkan beragam pemikiran atau gagasan-gagasan inovasi baik bersifat lunak maupun keras dalam suatu perencanaan strategis. Dengan demikian sumberdaya perusahaan (manusia, sistem, dan fisik) dapat terus dikembangkan dalam suatu proses pembelajaran secara berkelanjutan.
Suatu perusahaan yang tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar organisasi pembelajaran sama saja mengabaikan berbagai pengaruh eksternal dan pentingnya suatu organisasi memperkuat dirinya. Berarti pula perusahaan tidak mendorong terjadinya pengembangan komitmen dan kapasitas karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan. Padahal suatu organisasi pembelajaran yang memiliki daya saing tinggi dicirikan oleh sumberdaya manusia yang unggul dan terus dikembangkan secara terencana. Dan ini ada kaitannya dengan kebutuhan perusahaan untuk mengembangkan dirinya sebagai organisasi pembelajaran karena dunia bisnis sudah semakin mengglobal yakni kompleks, dinamis, dan kompetitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar